Jumat, 31 Desember 2010

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

0 komentar
Kejawi saking punika ngungun kawula dene ta boten kadasa putra tuan nini putri, sinten ta sing marahi Penedahanira pinku Sastra Jendra Yu ningrat menangka wadining bumi pan sinengker dening hyang Jagat Pratingkah.

Tan kening singa ngucapa siniku ing bataradi senagyan para pandita, kang samya mandireng wukir awis ingkang ngarawuhi yen dede pandita pinunjul, kuala matur prasaja mring paduka yayi aji, kang tineda ing nini punika.

Sastra Jendra Yu Ningrat, pangruwating barang sakalir ingkang kawruh tan wonten malih wus kawengku sastradi pungkas pungkasaning kawruh ditya diyu rakseksa myong sato siningwanadri lamun weruh artine kang Sastra Jendra. Rinuwai dening Batara sampurna patine reki atmane wor lan manungsa, manungsa kang wis linuwih yen manungsa udani, wong lan dewa patinipun jawata kang minulya.

Mengenal Ajaran Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Ajaran Sastra Jendra Hayuningrat ini tidak asing lagi bagi mereka yang menyukai dunia pewayangan. Ajarannya dapat ditemui pada peninggalan kebudayaan jawa ( khususnya) seperti pada kesenian tembang, peribahasa, nasehat (pitutur luhur) dan juga pada prosa liris.

Pesan tentang ajaran Sastra Jendra Hayuningrat ini dikemas dalam bentuk kiasan, sandi atau sanepan (bahasa jawa). Karena untuk membahasan kegaiban (warananing gaib) diperlukan sandi-sandi agar dapat dihayati dan diinterpretasikan secara bebas namun mendalam (sinengker).

Sebagai contoh dalam  cerita yang penuh perlambang atau sandi, adalah cerita wayang LOKAPALA dengan lakon Babakan Dewi Sukesi. Dijelaskan adanya empat watak manusia yang digambarkan pada diri empat anak yang dilahirkan oleh Dewi Sukesi. Watak ini sebenarnya melambangkan adanya empat napsu yang ada pada diri manusia. Empat anak dari dewi Sukesi itu bernama:
  1. Rahwana : sebagai tokoh berupa raksasa yang mempunyai napsu dan kemurkaan.
  2. Kumbakarna: sebagai tokoh berupa raksasa yang mempunyai sifat bela pati/mati pada apa yang dianggapnya benar.
  3. Sarpokenoko:  sebagai tokoh raksasi yang mempunyai perilaku mesum, syahwat dan serakah akan napsu duniawi.
  4. Wibisono: sebagai tokoh yang arif, bijaksana dan religius.
Keempat figur ini melambangkan juga bahwa, dalam diri manusia empat napsu itu analog dengan empat sinar aura dari adanya empat unsur (anasir) yang membentuk tubuh manusia. Empat unsur itu adalah: api, tanah, air dan udara yang masing-masing bersinar (sorot) merah, hitam, kuning, putih, secara ringkas:
  1. Rahwana; napsu kemurkaan (sinar merah unsur api) ambisius, serakah dan mau menangnya sendiri (kamurkan/polemos).
  2. Kumbokarno; napsu kesentosaan ( sinar hitam unsur bumi) bela pati/mati pada sesuatu yang dianggapnya benar (kesentosaan/egocentros).
  3. Sarpokenoko; napsu birahi ( Sinar kuning, unsur air) kecenderungan pada hal-hal yang seksual, dan kekayaan duniawi ( kasengseman/eros).
  4. Wibisono; napsu kesucian (Sinar putih, unsur angin) arif dan bijaksana cenderung mencari kebenaran Tuhan/religius (Kesucian). 
Kalimat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu jika diuraikan artinya;
  • Sastra artinya tulisan atau ilham
  • Jendra dari kata Harjo (raharja) dan Endro (Dewa Endra) artinya Agung/manifestasi dari alam semesta. Bisa juga sebagai perlambang; Endro Loka, terletak di hati (sanubari) yang mencetuskan ilham gaib (roso sejati), hasil dari penghayatan terhadap alam semesta dan kehidupan manusia.
  • Yuningrat; berasal dari kata Rahayu (kebahagiaan datau ketentraman) dan Ingrat berarti dunia/tempat, baik dalam batin manusia maupun didunia ini. Pengertian Yuningrat: ketentraman/keselamatan selama mengisi kehidupan di dunia ini.
  • Pangruwating; berarti merubah (sifatnya Konstruktif)
  • Diyu ; memiliki arti butho (raksasa) atau diibaratkan watak angkara murka (kebiadaban)
Jika kata-kata tersebut dirangkai, maka SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU berarti tulisan atau ilham (gaib) hasil penghayatan terhadap alam dan kehidupan untuk menuju ketentraman lahir batin dengan cara senantiasa merubah watak-watak angkara murka (biadab menjadi beradab). Dalam bahasa jawa disebut: Mustikaning Kawruh ingkang kuwasa ing karahayon, karaharjan, katentreman lan sak panunggalipun.

Menimba ajaran Sastra Jendra adalah mengerti makna hidup yang disebut Sejatining Hurip, dengan harus juga menghayati dunia seisinya atau disebut Gumelaring Jagad Dumadi. Dengan cara menghayati hidup ini dan mensyukuri bahwa alam semesta dan isinya adalah manifestasi dari ciptaan Nya yang digelar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang juga sebagai CiptanNya, maka di dalam ajaran Sastra Jendra hayuningrat ada cara-cara melakukan sembah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Sejatining Panembah, dengan upaya mencari pencapaian Budi Suci  hingga manusia dapat kembali lagi kepada Sang Pencipta dengan Sempurna (Langgeng), pencapaian ini disebut dengan Sampurnaning Pati.

Dalam Sandi Sastra:

Ha       – Huripku Cahyaning Allah
Na       – Nur Hurip cahya wewayangan
Ca       – Cipta rasa karsa kwasa
Ra       – Rasa kwasa tetunggaling pangreh
Ka       – Karsa kwasa kang tanpa karsa lan niat
Da       – Dumadi kang kinarti
Ta        – Tetep jumeneng ing dat kang tanpa niat
Sa       – Sipat hana kang tanpa wiwit
Wa       – Wujud hana tan kena kinira
La         – Lali eling wewatesane
Pa       – Papan kang tanpa kiblat
Dha    – Dhuwur wekasane endhek wiwitane
Ja        – Jumbuhing kawula lan Gusti
Ya       – Yen rumangsa tanpa karsa
Nya     – Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki
Ma       – Mati bisa bali
Ga       – Guru Sejati kang muruki
Ba       – Bayu Sejati kang andalani
Tha     – Thukul saka niat
Nga     – Ngracut busananing manungsa

Sastra Jendra ya sastra harjendra adalah sastra/ilmu yang bersifat rahasia/gaib. Rahasia, karena pada mulanya hanya diwedarkan hanya kepada orang-orang yang terpilih dan kalangan yang terbatas secara lisan. Gaib, karena ilmu ini diajarkan oleh Guru Sejati lewat Rasa Sejati.  Hayuningrat/yuningrat berasal dari kata hayu/rahayu – selamat dan ing rat yang berarti didunia.  Pangruwating Diyu, artinya meruwat, meluluhkan, merubah, memperbaiki sifat-sifat diyu, raksasa, angkara, durjana.

Maka Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu maknanya adalah ilmu rahasia keselamatan untuk meruwat sifat-sifat angkara didunia ini, baik dunia mikro dan makro.

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah merupakan Ilmu yang berasal dari Allah Yang Maha Esa, yang dapat menyelamatkan segala sesuatu.  Maka, tiada kawruh/pengetahuan lain lagi yang dapat digapai oleh manusia, yang lebih dalam dan lebih luas melebihi Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, sebab ini adalah merupakan sastra adi luhung atau ilmu luhur yang merupakan ujung akhir dari segala pengetahuan/kawruh kasampurnan sampai saat ini.

Makna/kawruh Yang Terkandung Dalam Sandi Sastra
Kalau diurut dari atas kebawah, dari Ha sampai Nga, mengandung makna yang sangat dalam dan sangat luas tentang rahasia gumelaring dumadi, atau pambabaring titah, atau rahasia jati diri, asal-usul/ terjadinya manusia.  Yaitu terciptanya manusia dari Nur, Cahaya Allah yang bersifat tiga, Tri Tunggal Maha Suci, yang merasuk busana anasir-anasir sebagai wadah, yaitu badan jasmani halusan dan badan jasmani kasar.

Apabila diurut terbalik, dari Nga naik sampai Ha, maka inilah “rahasia” jalan rahayu, ya pangruwating diyu, untuk menuju kesempurnaan hidup kembali kepada sangkan paraning dumadi. Kembali ke asal mula, ke Alam Sejati mencapai persatuan dengan Allah Yang Maha Agung. Jadi, dari Nga sampai Ha, juga merupakan urut-urutan panembah, dimulai dari badan jasmani kasar, dimana titik berat kesadaran kemudian harus dialihkan satu tahap demi tahap kearah asal-mula, ke Alam Sejati.  Syarat mutlak agar kita dapat menyadari/ memahami sesuatu hal, adalah membawa kesadaran kita bergerak masuk berada disitu.  Fokus/titik berat kesadaran dapat berpindah.  Didalam keseharian hidup, kesadaran kita banyak terfokus dialam badan kasar, alam anasir, diluar Alam Sejati.  Maka, satu-persatu tahap dari Nga, Tha, Ba dan seterusnya sampai Nga haruslah dilewati untuk memindahkan tingkat kesadaran dari alam kasar/fana/maya menuju Alam Sejati.   Sedangkan tahapan pertama yang harus dilalui yaitu Nga, sedemikian rumit dan sulitnya, maka dapat dibayangkan tidak begitu mudah untuk dapat memindahkan titik berat/focus kesadaran ke Alam Sejati.  Namun itulah intinya perjalanan spiritual yang harus kita tempuh.

Secara “garis besar”, Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga kalau diuraikan adalah sebagai berikut (garis besar saja, karena detailnya begitu luas/multi dimensi tak terkira penuh dengan kawruh kasunyatan sejati yang tak habis diuraikan dalam bahasa kewadagan apalagi tulisan).  Dan dibawah ini adalah garis besar uraian dari sisi spiritualnya guna dipakai sebagai “mile stones” dalam menempuh jalan rahayu untuk dapat kembali ke ” SANGKAN PARANING DUMADI “.

1. Ha – Huripku Cahyaning Allah (Hidupku adalah Cahaya Allah).

Sebelum ada apa-apa, sebelum alam semesta beserta isinya ini tercipta, adalah Sang Hidup ya Allah ya Ingsun yang ada dialam awung-uwung yang tiada awal dan akhir, yaitu alam/kahanan Allah yang masih rahasia/ Alam Sejati.  Itulah Kerajaan Allah ya Ingsun. Sebelum alam semesta tercipta, Allah berkehendak menurunkan Roh Suci, ya Cahaya Allah.  Ya Cahaya Allah itulah Hidupku, Hidup kita yang Maha Suci.
Alam Sejati adalah alam yang tidak mengandung anasir-anasir (unsur-unsur hawa, api, air dan bumi/tanah) yang berada didalam badan manusia, dimana Cahaya Allah bersemayam.  Alam Sejati diselubungi/menyelubungi dua alam beranasir yaitu halus dan kasar. Dapat pula diartikan, badan manusia berada didalam Alam Sejati.

2. Na – Nur Hurip Cahya wewayangan (Nur Hidup Cahya yang membayang).

Hidup merupakan kandang Nur yang memancarkan Cahaya Kehidupan yang membayang yang merupakan rahasia Allah.  Kehidupan yang Maha Mulia.  Tri Tunggal Mahasuci berada dipusat Hidup. Ya itulah Kerajaan Allah.
Sang Tritunggal adalah Allah ta’ala/Gusti Allah/Pengeran/Suksma Kawekas, Ingsun/Rasul Sejati/Guru Sejati/Suksma Sejati/Kristus dan Roh Suci/Nur Pepanjer/Nur Muhammad.  Diuraikan diatas, bahwa ketiga alam yaitu badan kasar, badan halus dan Alam Sejati, mengambil ruang didalam badan jasmani kasar secara bersamaan.  Namun kebanyakan kita manusia tidak atau belum menyadari akan Alam Sejati, atau samar-samar. Nur Hidup bagaikan cahaya yang samar membayang.

3. Ca – Cipta rasa karsa kwasa (Cipta rasa karsa kuasa).

Nur Hidup memberi daya kepada Rasa/Rahsa Jati/Sir, artinya Cahaya/Nur/Roh Suci menghidupkan Rasa/Rahsa Jati/Sir yang merupakan sumber kuasa. Maka bersifat Maha Wisesa.  Rasa/Rahsa Jati/Sir menghidupkan roh/suksma yang mewujudkan adanya cipta. Maka bersifat Maha Kuasa.

4. Ra – Rasa kwasa tetunggaling pangreh (Rasa kuasa akan adanya satu-satunya wujud kendali/yang memerintah).

Rasa Sejati yang memberi daya hidup roh/suksma sehingga roh/suksma dapat menguasai nafsu (sedulur lima), sehingga terjadilah sifat Maha Tinggi.

5. Ka – Karsa kwasa kang tanpa karsa lan niat (Karsa kuasa tanpa didasari oleh kehendak dan niat).

Yang mendasari adanya kuasa agung adalah kasih yang tulus, tanpa kehendak, tanpa niat.  Pamrihnya hanyalah terciptanya kasih yang berkuasa memayu hayuning jagad kecil dan jagad agung.

6. Da – Dumadi kang kinarti (Tumitah/menjadi ada/terjadi dengan membawa maksud, rencana dan makna).

Ini berkaitan dengan Karsa Allah menciptakan manusia, makhluk lain dan alam semesta beserta isinya yang sesuai dengan Rencana Allah.

7. Ta – Tetep jumeneng ing dat kang tanpa niat (Tetap berada dalam zat yang tanpa niat).

Dat atau zat tanpa bertempat tinggal, yang merupakan awal mula adalah dat Yang Maha Suci yang bersifat esa, langgeng dan eneng.  Hidup sejati kita menyatu dengan dat, ada didalam dat.  Maka didalam kehidupan saat ini agar selalu eksis selaras dengan dat Yang Maha Suci, situasi tanpa niat atau mati sajroning urip (mati didalam hidup) dengan kata lain hidup didalam kematian, seyogyanya selalu diupayakan.

8. Sa – Sipat hana kang tanpa wiwit (Sifat ada tanpa awal).

Ini adalah sifat Sang Hidup, Allah, di Alam Sejati, tiada awal dan tiada akhir, “AKUlah alpha dan omega”.  Demikian pula “hidup” sejati nya manusia sudah ada sebelumnya, tiada awal mula, bersatu di Alam Sejati yang langgeng, yang merupakan Kerajaan Allah, ya Sangkan Paraning Dumadi.

9. Wa – Wujud hana tan kena kinira (Wujud ada tiada dapat diuraikan/dijelaskan).

Ada nya wujud namun tiada dapat diuraikan dan dijelaskan. Ini adalah menerangkan keadaan Allah, yang sangat serba samar, tiada rupa, tiada bersuara, bukan lelaki bukan perempuan bukan waria, tiada terlihat, tiada bertempat, dijamah disentuh tiada dapat.  Sebelum adanya dunia dan akherat, yang ada adalah Hidup Kita.

10. La – Lali eling wewatesane (Lupa dan Ingat adalah batasannya).

Untuk dapat selalu berada didalam jalan hayu/rahayu maka haruslah selalu eling/ingat akan sangkan paraning dumadi dan eling/ingat akan Yang Menitahkan/ Sumber Hidup.  Selalu ingat akan tata laku setiap tindak tanduk yang dijalankannya agar selaras dengan Karsa Allah.  Lali/lupa akan menjauhkan dari sangkan paraning dumadi dan menjerumuskan kealam kegelapan. Contoh lupa adalah bagaikan Begawan Wisrawa dalam menguraikan Sastra Jendra Hayuningrat kepada Dewi Sukesi.  Tak tahan akan goda/ tak kuasa ngracut, mengendalikan nafsu-nafsu keempat saudara, maka sang Begawan kesengsem birahi kepada Dewi Sukesi yang harusnya menjadi menantunya.

11. Pa – Papan kang tanpa kiblat (Papan tak berkiblat).

Ini adalah menerangkan Alam Sejati, ya Kerajaan Allah yang tiada dapat diterangkan bagaimana dan dimana orientasinya, bagaikan papan yang tiada utara-selatan-barat-timur-atas-bawah.

12. Dha – Dhuwur wekasane endhek wiwitane (Tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada awalnya).

Untuk memperoleh tingkatan luhuring batin menjadi insan sempurna memang tidak dapat seketika, mesti diperoleh setapak-setapak dari bawah. Demikian pula dalam hal ilmu kasampurnan, dalam mencapai tataran ma’rifat tidaklah dapat langsung meloncat. Untuk bisa mengetahui dan memahami makna Ha, maka haruslah dicapai dari Nga.  Sebelum mencapai sembah rasa, haruslah dilalui sembah raga dan sembah kalbu/ sembah jiwa terlebih dahulu. Pertama, adalah panembah raga/ kawula terhadap Roh Suci, kedua, adalah panembah Roh Suci kepada Guru Sejati, dan terakhir adalah panembah Guru Sejati/ Ingsun kepada Allah Yang Maha Agung ya Suksma Kawekas.

13. Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti (Bersatunya antara hamba dan Tuan nya).

Bersatunya titah dan Yang Menitahkannya. Untuk mencapainya maka kesempurnaan hiduplah yang diupaya yaitu sesuai apa yang dimaksud dalam sahadat.  Maka semasa hidup di mayapada/dunia, bersatunya/ sinkronisasi Roh Sejati, Ingsun yang jumeneng pribadi dan busana-busana haruslah terjaga. Bagaikan keris manjing dalam wrangkanya dan wrangka manjing didalam keris. Untuk dapat mencapai kesatuan antara kawula dan Gusti maka tuntunan seorang guru yaitu Guru Sejati menjadi dominan. Untuk memperoleh nya maka tidaklah mudah, haruslah dengan disiplin keras bagaikan kerasnya usaha seorang Bima menemukan Dewa Ruci, yaitu wujud Bima dalam ujud yang kecil (manusia telah menemukan AKU nya sendiri) dalam mencari tirta pawitra.

14. Ya – Yen rumangsa tanpa karsa (Kalau merasa tanpa kehendak).

Hanya dengan rila/rela, narima, sumarah/pasrah kepada Allah tanpa pamrih lain-lain, namun dorongan karena kasih sajalah yang akhirnya dapat menjadi perekat yang kuat antara asal dan tujuan, sini dan sana.

15. Ny -  Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki (Melihat tanpa dengan mata, mengerti tanpa diajari).

Kalau anugerah Allah telah diterima, maka dapat melihat hal-hal yang kasat mata, karena mata batin telah “terbuka”. Selain itu, kuasa-kuasa agung akan diberikan oleh Allah lewat Guru Sejatinya sendiri ya Suksma Sejatinya, sehingga kegaiban-kegaiban yang merupakan misteri kehidupan dapat dimengertinya dan diselaminya. Mendapatkan ilmu kasampurnan dari dalam sanubarinya, tanpa melalui perantaraan otak/akal.

16. Ma – Mati bisa bali (Mati bisa kembali).

Kasih Allah yang luar biasa selalu memberikan ampunan kepada setiap manusia yang “mati” terjatuh dalam dosa dan salah.  Matinya raga atau badan wadag hanyalah matinya keempat anasir yang tadinya tiada, kembali ketiada. Namun roh yang sifatnya kekal tiada pernah mati, namun kembali ke Alam Sejati ya Kerajaan Allah yang tiada awal dan akhir. Namun, apabila selama hidupnya di mayapada tidak sesuai dengan Karsa Allah, melupakan Allah dan ajaran Guru Sejati, tiada dapat ngracut busana kamanungsan nya untuk tindakan-tindakan budi luhur, maka tidaklah dapat langsung kembali ke Alam Sejati, namun terperosok ke alam-alam yang tingkatannya lebih rendah sesuai dengan bobot kesalahannya, atau dititahkan kembali, yang kesemua itu untuk dapat memperbaiki kesalahan-kesalahannya.

17. Ga – Guru Sejati kang muruki (Guru Sejati yang mengajari).

Sumber segala sesuatu adalah Allah yang dipancarkan lewat Sang Guru Sejati/Ingsun/Rasul Sejati.  Maka hanya kepadaNya lah tuntunan harusnya diperoleh.  Petunjuk Guru Sejati hanya dapat didengar dan diterima apabila sudah dapat berhasil meracut busana kamanungsan nya.  Disinilah akan tercapai guruku ya AKU, muridKU ya aku.

18. Ba – Bayu Sejati kang andalani (Dengan bantuan Bayu Sejati).

Daya kekuatan sejati yang merupakan bayangan daya kekuatan Allah lah yang mendorong “pencapaian” tingkat-tingkat yang lebih tinggi atau maksud-maksud spirituil yang berarti.

19. Tha – Thukul saka niat (Tumbuh/muncul dari niat).

Niat menuju kearah sangkan paraning dumadi yang didasari kesucian, tanpa kehendak dan keinginan ataupun pamrih keduniawian.  Timbulnya niat suci karena dasarnya adalah cinta /kasih Illahi.

20. Nga – Ngracut busananing manungsa (Merajut/menjalin pakaian-pakaian ke-manusiaan-nya).

Busana kamanungsan adalah empat anasir, yang dimanifestasikan dalam wujud-wujud sedulur empat, serta lima sedulur lainnya. Kesembilan saudara tersebut harus dikuasai, diracut/dijalin dengan memahami kelebihan dan kekurangannya, agar tercapai “iklim” harmoni/balance dalam perjalanan manusia hidup di maya pada ini, yang pada akhirnya tercapailah kesempurnaan hidup.


Comments

0 comments to "Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu"

Posting Komentar

 

Copyright 2011 By Sastro Budoyo Vision Art